Lepasnya Timtim Menambah Semangat Separatisme di Papua
Sejak pertengahan tahun 1997, Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang akhirnya berkembang menjadi krisis nasional. Krisis yang bermula dari hilangnya kepercayaan terhadap kemampuan perekonomian nasional dalam menghadapi badai krisis keuangan yang juga melanda negara-negara sekawasan, telah menyebabkan goncangnya nilai tukar rupiah. Gejolak nilai rupiah tersebut dengan cepat melumpuhkan sendi-sendi perekonomian nasional. Melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan utang luar negeri swasta, yang dalam jumlah besar bersifat jangka pendek dan sebagian besar tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar, menjadi beban yang sulit dikendalikan dan segera menghambat kelancaran roda usaha. Sementara itu, usaha swasta juga memiliki pinjaman dalam jumlah yang besar terhadap perbankan nasional sehingga goncangan nilai tukar rupiah dan tersendatnya kelancaran roda usaha berdampak membengkaknya kredit macet yang pada gilirannya memperlemah kinerja perbankan yang merupakan jantung pembiayaan perekonomian nasional. Kondisi perbankan seperti itu telah memperburuk lagi keadaan perekonomian nasional. Berbagai indikator mencerminkan keadaan tersebut. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 tercatat hanya 4,7 persen, jauh di bawah rata-rata selama tiga dasawarsa terakhir yang mencapai sekitar 7 persen. Bahkan di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 13,2 persen. Inflasi membumbung tinggi, tercatat 11,05 persen pada tahun 1997 dan mencapai 77,63 persen pada tahun 1998. Pengangguran membengkak dan jumlah penduduk miskin meningkat tajam. Lalu masuk era Reformasi, yang artikan bebas bersuara yang membawa dampak kesenjangan informasi dalam goyahnya persatuandan kesatuan bangsa.
Pada awal krisis yang melanda kawasan Asia, berbagai kalangan baik dari dalam negeri maupun dunia internasional memperkirakan bahwa Indonesia tidak akan mengalami krisis sedalam negara-negara tetangga. Perkembangan yang terjadi adalah sebaliknya. Ternyata landasan ekonomi, politik, dan hukum masih rentan, termasuk kehidupan bangsa yang bersendikan nilai-nilai agama, sosial dan budaya. Bayangan separatisme pun masih terlihat jelas. Salah satu contohnya adalah lepasnya Timtim yang pada akhirnya malah menambah semangat Separatisme di Papua.
Seperti yang di tulis oleh Kompas - Sejak Timor Timur (Timtim) lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), intensitas kegiatan separatisme di Papua mengalami peningkatan. Lepasnya Timtim memberi inspirasi dan mendorong semangat tokoh-tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk mengembangkan upaya melepaskan diri dari NKRI.
Menteri Pertahanan (Menhan) Matori Abdul Djalil mengemukakan hal itu dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (24/2). Menurut Matori, pihak OPM juga semakin yakin bahwa perjuangan mereka untuk merdeka bukan mimpi belaka, setelah penandatanganan kesepakatan penghentian permusuhan antara RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Geneva (Swiss).
"Pihak OPM terus mengembangkan usahanya, terutama dengan membentuk jaringan di luar negeri, yang dapat mendukung perjuangannya di dalam negeri, khususnya di Jakarta dan Papua," kata Matori.
Dalam perjuangannya melepaskan diri dari NKRI, menurut Menhan, gerakan prokemerdekaan Papua menggunakan berbagai cara. Mereka, antara lain, menciptakan opini publik bahwa penyatuan Irian Jaya ke Indonesia setelah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 tidak sah karena tidak dilakukan secara satu orang satu suara (one man one vote) sesuai Resolusi PBB No 2504. Berdasarkan itu, mereka menyatakan bahwa Papua telah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961, sesuai dengan yang diberikan oleh Belanda.
Cara lain yang ditempuh adalah dengan membentuk kekuatan bersenjata yang terdiri dari kelompok tentara pembebasan nasional OPM, yang berkekuatan sekitar 1.600 orang dan tersebar di seluruh wilayah Papua. Mereka memiliki sekitar 200 pucuk senjata.
Matori juga mengutarakan, pihaknya mewaspadai adanya upaya yang dilakukan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan aktivis asing, yang berusaha mengangkat kembali masalah penentuan nasib sendiri (self determination) di Irian Jaya, yang telah mendapat legitimasi PBB.
Dephan telah menolak permintaan seorang akademisi dari Belanda untuk mengadakan penelitian tentang hal tersebut pada Januari 2003. "Dephan menilai, penelitian tersebut sangat tendensius, dan dikhawatirkan dapat disalahgunakan untuk melakukan pembentukan opini dan penggalangan di Papua. Jika dibiarkan, hal itu akan semakin mendorong kelompok separatis untuk melepaskan diri dari NKRI," kata Matori.
Bentuk FPB
Pada hari Senin itu juga, di Jayapura, dideklarasikan Forum Papua Bersatu (FPB). Ketika mendeklarasikan forum tersebut, Ketua Umum FPB Paskalis Kosay mengatakan, FPB didirikan untuk merangkum semua orang Papua agar menjaga persatuan, persaudaraan, kerukunan, dan tidak mudah diprovokasi dari luar. FPB juga mengajak semua komponen suku bangsa Papua untuk bersama-sama membangun daerah itu sebagai daerah zona damai menuju Papua Baru.
"Papua telah mendeklarasikan diri sebagai daerah zona damai dan hampir seluruh masyarakat Papua telah merealisasikan itu. Tetapi, dengan kebijakan pusat mengeluarkan Inpres mengenai pemekaran Papua, membuat masyarakat terkotak-kotak. Inpres itu dinilai memecah belah orang Papua untuk saling bentrok dan tidak dapat hidup berdampingan sebagai warga Melanesia," kata Kosay.
Akan tetapi, di Jakarta, juru bicara Departemen Dalam Negeri (Depdagri) I Nyoman Sumaryadi menyatakan bahwa dukungan terhadap pemekaran Provinsi Papua terus bergulir dari kalangan penduduk asli Papua. Dukungan itu di antaranya disampaikan ke Depdagri oleh Kananes Kareth sebagai Kepala Suku Besar Maybrat-Sorong. Juga Komisi Nasional (Komnas) Reaktiviasi Provinsi Irian Jaya dan Irian Jaya Crisis Centre yang ditandatangani David Obadiri.
"Mereka mendesak pemerintah agar segera mengaktifkan kembali pelaksanaan pemekaran provinsi di Irian Jaya. Mereka menyatakan siap mengamankan kebijakan nasional dalam mempertahankan Papua sebagai wilayah integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Nyoman Sumaryadi dalam keterangan persnya di Jakarta.
Depdagri, menurut Sumaryadi, menganggap aneh terhadap pihak-pihak yang menolak pemekaran provinsi di Irian Jaya. Pasalnya, pemekaran itu merupakan usul Gubernur Irian Jaya waktu itu, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat, hingga diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Pertemuan tokoh lintas partai, lintas agama, dan lintas golongan di Sentul City, Bogor, Jabar -- kemudian dikenal sebagai Pertemuan Sentul – pada bulan Juli 2007 merekomendasikan sejumlah catatan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Antara lain, keamanan negara kini krusial sehingga lembaga TNI harus diperkuat. Hal itu adalah sebagai sikap tanggapan dari krisis persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Menurut Koordinator penggagas Pertemuan Sentul, Yasril Ananta Baharuddin, berbagai catatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Sentul itu akan dituangkan dalam bentuk buku berjudul Catatan Kecil untukmu Ibu Pertiwi. Buku tersebut ditulis oleh tim yang diketuai pengamat politik dari Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Dr Sukardi Rinakit, dibantu mantan Jubir Presiden Abdurrahman Wahid Adhie Massardi dan aktivis Bambang Sulistomo.
"Buku ini akan kami sampaikan kepada Presiden, Wapres, Ketua DPR, Ketua MPR, Ketua MA, dan Ketua DPD," kata Yasril.
Meski tidak dihadiri tokoh-tokoh penting yang hadir pada dua pertemuan sebelumnya, seperti mantan KSAD Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, Ketua DPR Agung Laksono, dan deklarator Partai NKRI Sys NS, pertemuan yang ketiga sekaligus terakhir itu berlangsung lancar.
Meski secara formal Pertemuan Sentul sudah ditutup, kata Yasril, pertemuan informal antartokoh untuk menyoroti berbagai persoalan bangsa tetap akan berjalan. "Silaturahmi ini tidak berhenti sampai di sini," katanya.
Pertemuan Sentul selain dihadiri para penggagas seperti Yasril Ananta Baharuddin, Ray Sahetapi, Bambang Sulistomo, dan Adhie Massardi, juga diikuti pakar hukum Dimyati Hartono, Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarak, mantan Wakil KSAD Kiki Syahnarki, dan pengamat politik Sukardi Rinakit.
Menurut Sukardi, buku Catatan Kecil untukmu Ibu Pertiwi akan mengurai berbagai persoalan rakyat dan pemerintah Indonesia, baik menyangkut masalah politik dan keamanan, hukum, budaya maupun ekonomi berikut solusinya.
"Kami melihat masalah keamanan negara sangat penting. Apalagi soal Perjanjian Kerja Sama Keamanan (DCA) pemerintah RI-Singapura serta munculnya kembali semangat separatisme di beberapa daerah. Untuk itu, kita harus mendukung TNI agar mereka kuat dan profesional," ujar Sukardi.
Menurut Sukardi, pertemuan Sentul juga merekomendasikan perlu tidaknya penghapusan lembaga militer teritorial, seperti kodim, korem, dan sebagainya. "Kita lebih menekankan agar fungsi pembentukan lembaga-lembaga itu disesuaikan dengan kebutuhan negara," ucapnya.
Yasril menambahkan, pertemuan Sentul juga menyoroti masalah perbatasan. Dia sendiri mengusulkan agar pemerintah tidak menggunakan istilah pulau terluar untuk pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain.
"Kita harus menggunakan istilah pulau-pulau terdepan karena menjadi mata dan telinga negara yang berdekatan dengan negara lain. Di samping itu, masyarakat yang berada di pulau-pulau tersebut ini juga jadi lebih ikut bertanggung jawab untuk mempertahankannya," kata Yasril.
Dia menyebutkan, bila masyarakat di pulau terdepan dilibatkan secara langsung, maka tidak akan ada lagi semangat separatisme di daerah-daerah. "Saya kira tidak boleh ada lagi orang yang memiliki niat atau ucapan untuk melakukan separatisme. Kalau ada, maka gerakan seperti itu harus ditumpas dan hancurkan. Tidak boleh ada dialog," katanya. Menurut Yasril, selama ini pemerintah terkesan lamban dan tidak tegas dalam penanganan masalah separatisme.
Menyangkut aspek politik, Yasril mengatakan, pertemuan Sentul merekomendasikan agar amandemen UUD 1945 tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan parsial, tetapi komprehensif dan dipikirkan secara matang. Itu penting karena banyak persoalan yang harus diakomodasi. Jika amandemen UUD 1945 ini dipaksakan, bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran.
"Menurut hemat kami, kalau mau mengamandemen UUD 1945, kita juga harus memasukkan butir-butir Proklamasi dalam Bab I. Baru dalam Bab II kita masukkan Pembukaan, Bab III Batang Tubuh secara lengkap sebagaimana teks asli," kata Yasril.
Dia berpendapat, jika hanya karena eforia, amandemen UUD 1945 berisiko ditunggangi pihak asing. Yasril menyebut salah satu contoh, dalam amandemen terdahulu, Pasal 33 UUD 1945 yang menyangkut ekonomi kerakyatan diubah menjadi ekonomi yang bersifat individual.
Senin, 05 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar